
UNGARANNEWS.COM. JAKARTA- Eks Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2008, Muhammad Laica Marzuki, mengapreasiasi jalannya sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi. Ia menilai sidang berlangsung tertib.
“Saya melihat prosesnya berjalan lancar, majelis hakim konstitusi memberikan kesempatan kepada semua pihak pemohon, termohon KPU, dan terkait,” kata Laica di kediamannya di Jl Yosef Latumahina, Makassar.
Laica mengajak semua pihak mempercayakan dan menghormati apa pun keputusan MK. Ia mengingatkan soal kehidupan demokrasi.
“Artinya, marilah kita serahkan perkara ini kepada MK, mari kita berikan kepercayaan kepada MK dan bagaimana keputusannya kelak,” ujarnya.
“Yang saya harapkan kalau siapa yang dinyatakan pemenang dia menjadi pemenang yang baik kalau dia kalah dia mejadi kalah yang baik, itulah hakikat demokrasi,” lanjut Laica.
Selain itu, ia juga memberikan semangat kepada para hakim MK. Laica mengatakan hakim MK tidak boleh takut
“Sesuai pengalaman saya, kita itu berpegang ke posisi kuasa kehakiman yang merdeka tidak boleh diintervensi, tidak boleh takut,” tutur Laica.
Tim hukum capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam permohonan gugatan hasil Pilpres 2019 meminta MK mendiskualifikasi capres -cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin. Prabowo-Sandiaga dalam petitumnya, memohon ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019.
“Menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019,” kata tim hukum Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto, membacakan petitum keempat dalam sidang gugatan Pilpres dalam sidang di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).
Dalam petitum ketiga, tim hukum Prabowo-Sandiaga menyebut perolehan suara yang berbeda dari penetapan hasil rekapitulasi oleh KPU. Jokowi-Ma’ruf Amin menurut tim hukum Prabowo memperoleh 63.573.169 suara (48%). Sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga, menurut tim hukum, memperoleh suara 68.650.239 (52%).
Tim hukum Prabowo menyebut sudah terjadi kecurangan Pilpres yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif. Anggota tim hukum Prabowo, menyebut paslon 01 diduga menyalahgunakan kekuasaannya selaku presiden petahana.
Ada 5 dugaan kecurangan yang disebut bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) terkait dugaan penyalahgunaan kekuasaan, yaitu:
a. Penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Program Kerja Pemerintahan
b. Penyalahgunaan birokrasi dan BUMN.
c. Ketidaknetralan aparatur negara: polisi dan intelijen.
d. Pembatasan kebebasan media dan pers.
e. Diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
“Kelima jenis pelanggaran dan kecurangan itu semuanya bersifat TSM, dalam arti dilakukan oleh aparat struktural, terencana, dan mencakup dan berdampak luas kepada banyak wilayah Indonesia,” ujar Bambang Widjojanto.
Selain itu, tim hukum Prabowo menduga ada 2.984 TPS siluman yang merugikan perolehan suara dari paslon 02. Ada juga temuan indikasi manipulasi daftar pemilih khusus (DPK) yang jumlahnya disebut tim Prabowo sebanyak 5,7 juta orang.
Temuan lainnya, yakni indikasi pengaturan suara tidak sah dan ditemukan 37.324 TPS baru. “Angka ini potensial digunakan untuk penggelembungan suara,” sebut tim hukum Prabowo.
Soal penggelembungan suara dalam pelaksanaan Pilpres 2019, menurut tim kuasa, berkisar dari angka 18 juta suara hingga sekitar 30 juta suara.
“Pemohon memohon kepada majelis untuk memerintahkan merekap seluruh C7 (daftar hadir) di TPS secara terbuka sebagai langkah awal untuk mengetahui basis kecurangan pemilu karena potensi penggelembungan suara antara 18.663.247 sampai dengan 30.462.162,” kata kuasa hukum tim Prabowo-Sandiaga, Teuku Nasrullah, saat membacakan permohonan gugatan.
Karena itu, dalam petitum nomor 8, Prabowo-Sandiaga memohon MK menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 melalui penggelembungan dan pencurian suara secara terstruktur, sistematis, dan masif.
“Memerintahkan termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang secara jujur dan adil di sebagian provinsi di Indonesia atau setidaknya di provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kalimantan Tengah agar dilaksanakan sesuai amanat yang tersebut di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD RI Tahun 1945,” kata BW membacakan petitum ke 12. (dtc/tm)