Oleh : Irul S. Budianto *)
SETIAP lebaran tiba, masyarakat Jawa biasanya akan menyediakan atau menyuguhkan beragam makanan di rumahnya. Dari berbagai jenis makanan yang tersedia, sepertinya yang tak pernah ketinggalan adalah kupat (ketupat). Jenis makanan yang satu ini tak sebatas pelengkap saja, tapi keberadaannya dianggap punya simbol dan makna khusus.
Sebutan lebaran sendiri sudah ada sejak ratusan tahun silam. Mulai tumbuh dan berkembang sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Lebih-lebih pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Agung Anyakrakusuma, yang memang terkenal dengan gebrakannya untuk memajukan Islam, istilah lebaran sudah mengakar di kalangan kawula.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, tradisi dan budaya Jawa yang dikemas dengan ajaran agama Islam memang mendapat perhatian secara khusus. Selain sebutan lebaran yang dimaknai lebar (purna/selesai) menjalankan ibadah puasa Ramadhan, sebutan itu sejatinya berdasarkan pemahaman kultur Jawa. Lebaran juga merupakan wujud ketergantungan kepada tradisi secara turun-temurun yang di dalamnya disertai dengan ajaran Islam.
Dalam tradisi lebaran ini sejatinya bisa dipahami adanya simbol-simbol yang penuh makna. Bahwa pada hari yang dianggap suci itu setiap orang diharapkan bisa mendapatkan pencerahan jiwa dan kembali kepada kesucian. Di antaranya yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa yaitu dengan cara menyuguhkan kupat. Makanan yang dibuat dari beras dan dibungkus janur ini sering dimaknai ngaku lepat (mengakui kesalahan). Terlepas dari othak-athik gathuk, tapi upaya tersebut sebagai bagian dari orang-orang yang mau mengakui kesalahan untuk menyucikan diri.
Hingga sekarang dan sudah menjadi tradisi, setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh, masyarakat khususnya wong Jawa akan menjalani tradisi lebaran yang tak bisa dipisahkan dengan kupatan. Dikatakan lebaran karena memang sudah lebar (selesai) menjalankan ibadah puasa. Selesai menggembleng diri untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Kupat juga sering dimaknai sebagai laku papat (empat laku/tindakan), yakni lebar, luber, lebur dan labur. Lebar punya makna sudah selesai menjalankan puasa dengan mengendalikan segala nafsu. Dengan puasa diharapkan bisa menumbuhkan jiwa sosial dan kasih sayang kepada sesama. Luber bermakna ngluberake atau meluapkan dari hasil puasanya, yakni meluapkan rasa kasih sayang kepada suami/istri, anak, saudara dan kepada sesama dari hasil ibadah puasanya.
Lebur bermakna nglebur atau melebur dosa dan kesalahan kepada Allah SWT, saudara dan siapa saja. Jika hal ini sudah dilakukan berarti jiwa seseorang akan kembali bersih dan suci, seperti halnya labur (bahan cat dari gamping) yang berwarna putih. Dengan demikian, seseorang yang menjalankan laku papat tersebut berarti sudah kembali ke hati dan jiwa yang suci.
Dalam perkembangannya, kupat tak jarang pula dimaknai sebagai kawengku ing napsu papat (dikuasai oleh empat nafsu), yakni alumamah, amarah, supiah dan mutmainah. Aluamah merupakan nafsu yang mengedepankan pada makan, minum dan kenikmatan termasuk di dalamnya urusan biologis/seksual. Amarah merupakan nafsu yang mengedepankan segala keinginan atau kepemilikan dalam hati. Nafsu ini sering membuahkan rasa iri, dengki dan sejenisnya. Sementara supiah merupakan nafsu yang mengedepankan masalah keduniawian, dan mutmainah merupakan sifat yang suka memberi, berbuat baik dan memberikan tuntunan kepada orang lain.
Keempat nafsu ini sudah menjadi sifat kodrati manusia yang tak bisa dipungkiri lagi. Setiap orang hanya bisa mencegah atau mengendalikan. Untuk mengendalikan keempat nafsu tersebut sejatinya Allah SWT sudah memberikan sifat yang disebut Nimpuna atau Mulhimah.
Dari wujud kupat, bisa diurai bahwa keempat nafsu yang ada pada diri setiap orang digambarkan berada di setiap sudut kupat yang ada. Sementara pada salah satu sudut kupat tersebut terdapat janur yang kemlewer (panjang) yang berfungsi untuk membawa atau menggantungkan kupat. Janur yang kumlewer inilah yang dikatakan sebagai Nimpuna atau Mulhimah. Artinya, dasar kebijaksanaan pribadi seseorang untuk mencegah atau mengendalikan semua nafsu.
Tradisi kupatan yang masih dijalani masyarakat Jawa sampai sekarang bukan hanya memampangkan urusan makanan atau berkaitan dengan nafsu keduniawian saha. Tapi lebih dari itu, tradisi yang masih dilestarikan masyarakat pendukungnya ini cenderung menumbuhkan nilai dan makna kebajikan. Seperti mau mengakui segala kesalahan atau dosa serta upaya-upaya untuk mencegah atau mengendalikan segala nafsu yang melingkupi setiap orang. (*)
*) Penulis, penikmat sastra dan budaya Jawa, tinggal di Boyolali