
UNGARANNEWS.COM. UNGARAN BARAT- Belasan orang perwakilan dari para korban dugaan penipuan jual beli tanah kapling menggeruduk Polres Semarang. Mereka menanyakan hasil penyelidikan laporan korban yang sudah setahun lebih ditangani Polres Semarang namun belum ada kejelasan.
Sumari (52) warga RT 3/ RW 9 Sapen, Kelurahan Bandarjo, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, salah satu korban mewakili para korban mengatakan, korban berjumlah sebanyak 36 orang dengan nilai kerugian seluruhnya sekitar Rp 2,5 miliar.
“Kami para korban sudah membayar uang pembelian kapling lokasinya di Sapen. Nilainya per korban antara Rp 60 juta sampai Rp 100 juta, kalau ditotal kerugiannya sekitar Rp 2,5 miliar,” ujar Sumari kepada wartawan, Rabu (13/7/2022).
Salah satu korban atas nama Mirana mewakili para korban, menurut Sumari, sudah melaporkan kasus ini ke Polres Semarang pada tanggal 23 Desember 2020 dengan terlapor AK (41) warga Jenalas, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen.
Kejadian dugaan penipuan ini, dituturkan Sumari, bermula dari penawaran terlapor harga kapling murah yang berlokasi di RT 3/RW 9 Sapen Kelurahan Bandarjo. Hal itu diketahui para korban dari MMT dan spanduk promo yang disebar terlapor di pinggir-pinggir jalan di Ungaran, dengan menggunakan nama komplek kapling Bumi Sapen Indah.
Awal penawaran pembukaan kapling tersebut pada tahun 2018 dengan luas keseluruhan sekitar 10.000 meter persegi atau 1 hektar. Konsumen dapat membeli luasan kapling sesuai dengan kemampuan dengan harga Rp 1 juta per meter.
“Kami tergiur membeli karena harganya relatif murah lokasinya dekat Kota Ungaran. Apalagi lagi seperti saya karena cepat-cepat membeli kapling mendapatkan diskon, saya membeli 80 meter per segi,” urai Sumari yang juga Ketua RT 3/RW 9 Sapen ini.
Para korban mulai merasakan ada masalah saat kapling yang sudah dibeli tak kunjung dipecah sertifikatnya. Meski sudah membayar dengan bukti kwitansi terlapor memberikan alasan berbelit-belit. Alasan status tanah belum bisa dipecah karena atas namanya masih hak milik keluarga relasinya, berinisial TTK warga Pudakpayung, Semarang.
Puncak kekesalan para korban ketika hendak menggunakan tanah yang sudah dibeli untuk mendirikan bangunan dilarang TTK karena terlapor belum menyelesaikan pembayaran atas tanah hak miliknya. Bahkan, TTK memasang MMT berukuran besar menyampaikan larangan disertai ancaman akan membawa ke ranah hukum jika mendirikan bangunan di tanah kapling tersebut.
“Kami tidak mau tahu persoalan terlapor dengan TTK karena yang menjual dan menerima uang kami adalah terlapor. Selama ini kami hanya diberikan janji-janji, bahkan sudah dua kali membuat surat perjanjian bermaterai akan menyelesaikan masalah tersebut tapi tidak pernah ditepati,” tegas Sumari didampingi korban lainnya, Aga (32) dan Daniel (35).
Menurut Sumari, setidaknya terlapor AK sudah dua kali tidak menepati surat pernyataan yang dibuat bermaterai dan ditandanganinya. Surat pertama menyatakan siap menyelesaikan pembayaran dengan TTK antara tanggal 31 Juli 2020 hingga 31 Agustus 2020 namun sampai batas waktu tidak ditepati.
Surat pernyataan kedua, lanjutnya, dibuat menyatakan akan menyelesaikan kekurangan pembayaran maksimal tanggal 31 Oktober 2020 meminta konsumen tidak menempuh jalur hukum, juga sampai saat ini tidak ditepati.
“Kami meminta kepolisian segera mengambil tindakan terhadap terlapor untuk kejelasan nasib kami. Mendapat hak atas tanah yang kami beli, atau uang kami dikembalikan,” tandasnya.
Kapolres Semarang AKBP Yovan Fatika melalui Kasat Reskrim Polres AKP Agil Widyas Sampurna dikonfirmasi wartawan mengatakan masih melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait laporan kasus tersebut.
“Kita akan cek dulu untuk tindak lanjut, itu laporan sudah lama, Kasat (Kasat Reskrim, red) yang dulu,” ujarnya singkat, Rabu (13/7/2022) malam. (abi/tm)