
UNGARANNEWS.COM. BANDUNGAN– Setelah berjuang selama 21 tahun, para petani tergabung dalam Paguyuban Petani Penggarap Tanah Rakyat (P3TR) Gintungan, Desa Jetis, Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, akhirnya mendapatkan sertifikat redistribusi tanah seluas 198 hektar.
Tentu perjuangan panjang hingga tanah pertanian sudah digarap puluhan tahun itu bisa menjadi hak milik. Selama itu mereka menjadikan tanah terletak di lereng gunung Ungaran tersebut sebagai gantungan hidup keluarganya.
Koordinator P3TR Desa Gintungan, Bandungan, Sutrisno kepada Jateng Pos mengisahkan suka dukanya selama memperjuangkan hak tanah yang merupakan peninggalan penjajahan Belanda.
“Setelah Belanda dan Jepang menyerahkan kemerdekaan kepada pemerintah RI tahun 1945, disusul Pemilu tahun 1955, pada tahun 1957 warga mulai mencangkuli tanah tersebut,” kisahnya saat ditemui di rumahnya di Gintungan, Desa Jetis, Kecamatan Bandungan, kemarin.
Dituturkan, saat itu warga oleh pemerintah diberikan surat leter D atau kitir. Di tahun 1965 tepatnya setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI (G/30S/PKI), datang pimpinan RPKAD meminta seluruh warga penggarap tanah dikumpulkan di rumah Kepala Desa Kenteng, Bandungan.

“Warga petani diminta mulai besok pagi dilarang menginjakkan kakidi lahan itu, alasannya lahan akan dibuat markas Tentara Pelajar. Namun sampai tahun 1968 rencana itu tidak jadi, diganti lahan untuk pelatihan tanam legiun se-Kabupaten Semarang sampai tahun 1972,” tuturnya.
Ujung-ujungnya, di tahun 1973 muncul PT Sinar Kartusuro milik Guntoro, mengambil alih lahan dan ditanami tanaman lorosetu, akar wangi, bunga, dijadikan tempat penyulingan minyak wangi.
“Berjalan 12 tahun Guntoro meninggal, kemudian diteruskan Mintarjo Halim yang merupakan orangnya Mbak Tutut (putri Presiden Soeharto kala itu, red). Pemanfaatan lahan diganti untuk pengadaan perternakan sapi, kuda, dan kambing. Waktu itu seperti kebun binatang,” kenangnya.
Tahun 1998 saat masa penggunaan lahan habis, setahun kemudian ia dan warga diundang ke balaidesa diajak musyawarah. Ternyata mereka mempermasalahkan warga yang menanami lahan di luar pagar milik PT.
Bahkan, sebanyak 29 orang petani setempat dilaporkan PT ke Polres Salatiga, dilepaskan setelah memberikan jaminan. Warga tetap ngotot untuk meminta agar lahan diserahkan kembali kepada petani.

Pada pekembangannya lahan yang semula dikelola PT dikelola warga petani, hingga berlanjut dibentuk P3TR pada tahun 2000.
“Waktu itu kita berjuang memperebutkan hak tanah yang semula sudah kita garap, dibuktikan kitir leter D yang kita miliki. Kita ingatkan lahan seluas 250 hektar tersebut jangan sampai dikuasai seseorang atau kelompok. Kalau disewakan siapa yang mengontrakan?,” tandasnya lagi.
Mereka menuntut hak pengelolaan tanah negara yang dikuasai PT Sinar Kartasura yang status hak guna usaha (HGU) berakhir pada 1998. Sejak itu berbagai upaya dilakukan bersama untuk memperjuangkan hak kepemilikan tanah.
“Selama kita berjuang, saat itu, semua pejabat dan aparat tutup mulut. Bupati dan Gubernur yang menjabat saat itu semuanya tertutup.Tidak ada yang mau membantu, kita berjuang sendiri bersama petani,” ujarnya.
Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil. Sertifikat mereka diserahkan secara virtual oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (22/9/2021).
“21 tahun (memperjuangkan tanah ini). Lawan saya tidak main-main, banyak pihak, macam-macam. Tidak semudah itu, banyak ganjalan-ganjalan,” ujar Koordinator P3TR, Sutrisno saat ditemui Jateng Pos di rumahnya, kemarin.

Kisah pahit tidak bisa dilupakan, dituturkan Sutrisno, warga petani harus berulang kali mengurus, dan memulai lagi mengurus ke BPN Kabupaten Semarang seiring pergantian Kepala Kantor setempat.
“Sudah banyak sekali pergantian Kepala BPN. Kita sudah megurus, dan petugas sudah menginventarisir tanah petani. Tinggal kita tunggu selesainya. Ternyata Kepala BPN diganti. Itu terjadi berulang kali,” tuturnya.
Pergantian pejabat di BPN, menurutnya turut mempengaruhi proses penyelesaian sertifikat yang mereka ajukan. Pejabat baru tak kunjung melanjutkan sampai berlarut-larut. Perjuangan itu dialami sejak tahun 2000 lalu.
“Sebenarnya reforma (pembaruan) agraria redistribusi tanah pertanian itu sudah sejak jaman Presiden Gus Dur (almarhum Abdurrahman Wahid, red), tapi baru bisa terealisasi setelah pak Jokowi (Presiden Joko Widodo, red) menjabat kedua kali,” tandasnya.
Penyerahan sertifikat secara virtual oleh Presiden Joko Widodo disaksikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Bupati Semarang H Ngesti Nugraha di Gedung Gradhika Bhakti Praja pada Rabu (22/9/2021).
“Keberhasilan ini akan kami jaga bersama para petani. Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan semua pihak, pak Bupati Ngesti dan Kepala BPN pak Arya. Sertifikat akan kita jaga untuk kelestarian, ketentraman, keselamatan para petani sampai turun temurun,” tambah pertani lainnya.

Bupati Semarang H Ngesti Nugraha mengatakan, masyarakat sudah lama menunggu kepastian mendapatkan hak kepemilikan tanah. Mereka kini akhirnya mendapatkan kepastian dan dapat menggarap tanah untuk kesejahteraan mereka.
“Dengan tanah itu diharapkan kesejahteraan perekonomian warga dapat semakin meningkat,” ujar Bupati saat menyerahkan sertifikat petani P3TR secara simbolis di seketariat P3TR di Gintungan pada Rabu (22/9/2021) malam.
Kepala BPN Kabupaten Semarang, Arya Widya Wasista yang hadir mendampingi Bupati, menerangkan bahwa sertifikat redistribusi tanah obyek reforma agraria diberikan untuk memberikan kepastian hukum hak petani atas tanah garapannya.
Total sertifikat yang diserahkan ada 3.261 lembar untuk bidang tanah seluas 67,8 hektare yang dimiliki 836 keluarga.
“Tahap pertama diserahkan 1.500 lembar SHM. Sedangkan sisanya ditargetkan selesai Oktober 2021,” terang Arya.
Sedangkan petani yang tergabung dalam P3TR meliputi warga enam dusun, yaitu Dusun Gintungan, Darum, Talun, Ngipik, Golak, Ampelgading, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. (abi/tm)