AGORAPHOBIA merupakan suatu gangguan kecemasan yang ditandai dengan ketakutan yang berlebihan terhadap tempat atau situasi tertentu, dimana individu merasa kesulitan untuk keluar dari situasi tersebut.
Menurut Wiramihardja (2005) agoraphobia yaitu suatu ketakutan berada dalam suatu tempat atau situasi dimana ia merasa bahwa ia tidak dapat atau memiliki kekurangan baik secara fisik maupun psikis.
Bagi penderita gangguan ini, agoraphobia dapat menjadi kondisi yang membuat ruang lingkup menjadi terbatas, serta mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti interaksi sosial dengan orang disekitar hingga interaksi dalam dunia pekerjaan.
Diagnosis dari gangguan ini sebenarnya sudah cukup jelas, namun sering kali Masyarakat tidak menyadari bahwa kasus individu dngan gangguan ini cukup banyak disekitar kita.
Masyarakat hanya mengganggap kasus ini sebagai ‘kesalahan’ individu yang memiliki kecenderungan untuk menyendiri (introvert). Padahal, gangguan ini lebih dari itu saja, bahkan bukan hanya takut pada keramaian, namun ada kecemasan lain yang menyertainya.
Ciri- ciri umum gangguan agoraphobia bisa berkaitan dengan fisik, kognitif, hingga perilaku. Gejala yang berkaitan dengan fisik contohnya saat berada dalam lingkungan yang menyebabkan kecemasan seperti, gemetar, pusing, detak jantung semakin cepat, tubuh berkeringat dingin, dan pernapasan menjadi jauh lebih cepat dari biasanya, mual. Sedangan gejala berkaitan dengan kognitif seperti mengalami serangan panik, seperti takut orang yang ada disekitarnya menatap dirinya. Gejala berkaitan dengan perilaku contohnya menghindari tempat atau situasi yang ramai (seperti mall, stasiun, pasar, acara pesta, konser musik), mengalami ketakutan yang berlebih saat berada diruangan yang sempit, mengalami ketakutan yang berlebih saat berada diruangan yang luas dan terbuka menghindari untuk menggunakan transportasi umum (seperti bus, kereta, dan pesawat).
Agoraphobia belum diketahui secara pasti penyebabnya. Tetapi, ada kemungkinan dari beberapa faktor, bahwa penderita gangguan ini memiliki riwayat komplikasi dari gangguan panik disertai dengan gangguan kecemasan, yang dipengaruhi oleh faktor genetik, seperti memiliki keturunan yang mengidap gangguan agoraphobia, serta pernah mengalami pengalaman traumatis di masa lalu, seperti mendapatkan penyerangan fisik ditempat ramai.
Agoraphobia memiliki penyebab yang beragam dan kompleks, serta seringkali melibatkan kombinasi faktor genetik, biologis, psikologis, dan pengalaman traumatis. Secara umum, belum ada penyebab tunggal yang jelas untuk agoraphobia, tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan ini berkaitan erat dengan faktor keturunan dan lingkungan.
Faktor genetik, misalnya, dapat meningkatkan risiko seseorang mengembangkan gangguan ini jika anggota keluarga mereka memiliki riwayat gangguan kecemasan atau agoraphobia. Dengan kata lain, faktor keturunan dapat memberikan dasar biologis bagi individu yang rentan terhadap kecemasan berlebih, terutama dalam situasi yang dianggap menakutkan atau tidak terkendali.
Faktor-faktor penyebab agoraphobia sangat bervariasi dan seringkali saling mempengaruhi. Agoraphobia tidak hanya disebabkan oleh satu aspek tunggal, tetapi merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor, baik dari segi biologis, psikologis, maupun pengalaman hidup. Dengan memahami berbagai faktor penyebab ini, diharapkan pendekatan yang lebih komprehensif dapat diterapkan dalam menangani dan mencegah agoraphobia, sehingga penderita dapat memperoleh dukungan yang mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik.
Agoraphobia berdampak luas terhadap kehidupan penderitanya, membatasi berbagai aspek seperti interaksi sosial, aktivitas harian, dan peluang kerja. Ketakutan berlebihan terhadap tempat atau situasi tertentu membuat penderita cenderung menghindari lingkungan ramai atau tempat yang tidak nyaman bagi mereka.
Akibatnya, ruang lingkup kehidupan mereka semakin terbatas, sehingga mereka kehilangan banyak kesempatan untuk bersosialisasi atau terlibat dalam kegiatan sosial. Situasi ini sering kali menimbulkan rasa keterasingan atau kesepian pada penderita, karena mereka merasa berbeda dari orang lain dan cenderung menarik diri dari pergaulan sosial.
Agoraphobia sering dianggap bahwa seseorang memiliki ketakutan yang tidak proporsional seperti menganggap lingungan seperti itu terlalu terbuka, penuh sesak, atau berbahaya. Agorafobia dapat terjadi pada semua usia, namun biasanya muncul antara usia 20 dan 30 tahun. Baik wanita maupun pria dapat terpengaruh, meskipun statistik menunjukkan bahwa kondisi ini lebih banyak terjadi pada wanita.
Agorafobia dapat berkembang dalam hubungannya dengan tempat atau situasi di mana penderita sebelumnya mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, jika seseorang pernah mengalami serangan panik dalam situasi tertentu, seperti saat berbelanja di mall, mereka mungkin mulai takut akan terulangnya kejadian tersebut dan secara alami berusaha menghindari situasi tersebut di masa depan.
Untuk mengatasi gangguan ini terdapat berbagai langkah yang dilakukan antara lain melalui pengobatan maupun terapi perilaku. Salah satu terapi psikologi yang dapat membantu menyembuhkan pasien agorafobia adalah terapi kognitif. Terapi ini merupakan kombinasi dua pendekatan terapi yakni kognitif dan perilaku.
Terapi ini berusaha untuk mengintegrasi teknik-teknik terapeutik yang berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang mendasarinya.
Terapi kognitif perilaku berfokus pada pola berpikir dan perilaku yang mempertahankan atau memicu serangan panik ini akan membantu untuk melihat ketakutan dalam cahaya yang lebih realistis sampai dicapai puncak dimana emosi-emosi negatif seperti kecemasan dan depresi disebabkan oleh pemikiran kita (yang salah) terhadap peristiwa yang mengganggu, bukan pada peristiwa itu sendiri. (Penulis: Fernanda Janet Hartanto1, Indah Larasati2, Jessica Dani Eleasha3, Sifra Jesua Alwe4, Vultdeus Maria Anggini Maga5, Yosep Moses Becker6)