
UNGARANNEWS.COM. UNGARAN BARAT- Dalam waktu dekat ini Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo akan mengesahkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2020. Para buruh diharapkan dapat mengawal proses pembahasan upah sebagai upaya mereka memperjuangkan nasib dan hak-haknya.
Di sisi lain, terkait hak buruh ada ketentuan mendasar yang harus dipenuhi oleh perusahaan, selain UMK yang memadai juga menjalankan ketentuan sesuai perjanjian kerja, masa kerja dan perlindungan terhadap buruh.
“Di dalam peraturan yang mengatur buruh, perlu diketahui buruh, adalah adanya kewajiban perusahaan untuk membuat perjanjian dengan buruh sebelum mereka dipekerjakan. Ini menyangkut soal hak mereka yang harus dipenuhi pihak perusahaan,” ujar Pimpinan Pusat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Sejati Kabupaten Semarang, Dr. Drs. H. Hono Sejati SH, M.Hum.
Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT) atau kontrak dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau pekerja tetap. Menurut Hono, jika pegawai kotrak tidak pakai training, sedangkan pekerja tetap pakai training setidaknya selama 3 bulan.
“Selama tiga bulan tidak cakap manajemen perusahaan boleh mengeluarkan. Tapi lepas 3 bulan otomatis menjadi pegawai tetap. Nah, paling banyak disimpangi pegawai kontrak atau PKWT yang seharusnya aturan paling lama bekerja 3 tahun mereka jika diberhentikan mendapat reward 1 kali, namun perusahaan sering kali mengabaikan hak mereka itu,” jelasnya saat ditemui di kantornya di Jalan Slamet Riyadi Kelurahan Genuk, Ungaran Barat, belum lama ini.
Disebutkan Hono, sering kali perusahaan menganggap pegawai kontrak dipenuhi haknya selama mereka bekerja dengan hanya digaji tanpa memberikan kewajiban terkait reward ataupun pesangon yang seharusnya mereka dapatkan. Masalah ini sering kali terjadi multitafsir antara buruh dengan perusahaan sehingga sampai harus diselesaikan di pengadilan.
“Padahal hak buruh yang harus diberikan sudah jelas, bawah selama 3 tahun kerja mereka berhak mendapatkan 1 kali reward. Sama seperti kasus ketika buruh di PHK atau upah kerja lembur yang tidak dihitung, di situ ada hak buruh yang harus dipenuhi perusahaan,” tadasnya.
Dijelaskan lebih lanjut, berdasarkan Undang-Undang (UU) buruh ketika mulai masuk kerja seharusnya ada Perjanjian Kerja (PK) yang harus mereka tandatangani dengan perusahaan. Di atasnya lagi ada Peraturan Perusahaan (PP) yang mengatur kewenangan managemen, dan di atasnya ada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dibuat oleh wakil pekerja (organisasi) dengan pihak managemen.
“Aturan dalam PKB ini yang paling kuat hukumnya. Ada kearifan lokal yang juga harus dipenuhi, misalkan di perusahaan Indofood memberlakukan aturan berdasarkan peraturan UU tahun 1994 bahwa THR diberikan 1 kali masa kerja, 1 tahun kerja mendapat 1 kali gaji. Mereka mendapatkan 2 kali gaji, maka sangat adil karena buruh mendapatkan THR diawali harus lemburan Ramadan dulu,” jelasnya.
Aturan lembur sudah di ataur dalam UU nomor 13 tahun 2003. Berdasarkan hukum materinya di situ disebutkan, buruh menjalankan kerja selama 8 jam dengan ketentuan 1 jam istirahat, sehingga efektif mereka bekerja selama 7 jam. Melebihi jam itu maka harus dihitung lembur.
“Begitu juga pekerja yang tetap dipaksa masuk di Hari Besar harus ada hitungannya. Hari Besar makin besar rewardnya, pekerja harus tahu aturan tersebut, antara lembur dan tidak. Aturannya kerja 40 jam selama seminggu, lebih dari 40 jam maka harus dihitung lembur. Masalah ini yang sering kali disimpangi perusahaan, begitu juga dengan kontrak. Demi hukum sebaiknya memberlakukan pekerja tetap saja,” tegasnya. (abi/tm)