Batu andesit hasil pahatan tukang yang diklaim Toto Santoso alias Sinuhun Raja Keraton Sejagat sebagai prasasti dan disakralkan. FOTO:IST/ANTARA

UNGARANNEWS.COM. SEMARANG– Polisi mengungkap ulah Toto Santoso si ‘Raja’ dan Fanni Aminadia si ‘Ratu’ Keraton Agung Sejagat di Purworejo bukan pasangan suami istri sah. Meski keduanya mengaku sudah ‘menikah’, tapi bukan menikah secara agama melainkan secara adat. Waduh!

“Pengakuannya ketemu lima tahun lalu, 2015. Dikenalkan oleh seseorang,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Kombes Budhi Haryanto di kantornya, Semarang, Kamis (16/1/2020).

Terkait hubungan mereka saat ini, Budhi menjelaskan keduanya bukan pasangan suami istri resmi. Mereka menganggap hubungan pernikahannya sah sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

“Terus (pernikahan) mereka disahkan bukan secara agama atau negara ya, secara adat yang diakui mereka, itu baru dua tahun yang lalu. Saya tanya kepada mereka, surat kawinnya ada? Nggak ada. Pokoknya mereka menganggap sah, lah. Karena kan namanya kepercayaan,” jelas Budhi seperti dilansir dari detik.com.

Raja dan Ratu itu bernama Toto Santosa dan Fanni Aminadia. Sang raja, Toto dalam KTP berstatus belum kawin, sedangkan permaisurinya sudah pernah menikah.

Keanehan ajaran ‘‘raja’ dan ‘ratu’ juga terlihat dari logo keraton, dan prasasti yang bentuk dan isinya bikin orang bingung jika terlalu dipikirkan.  Pertama soal logo yang ada di keraton itu, bentuknya mirip dengan lambang Nazi. Logo tersebut digabungkan dengan simbol Bintang Daud.

Salah satunya akun @dewapuci yang menuliskan, “Itu ada lambang Bintang Daud dg Swastika di dalamnya. Kayak alay yg asal nyomot gambar2 di internet buat stiker di motor bututnya.” Demikian komentar salah satu nitizen.

Yang kedua, ada sebuah batu berukuran besar yang terletak di kompleks Keraton Agung Sejagat, Dusun Pogung, Desa Juru Tengah, Purworejo.

Menurut warga setempat, Amat Riyanto, batu itu disebut oleh pengikut Keraton Agung Sejagat sebagai prasasti. Batu andesit itu dikatakan berasal dari Kecamatan Bruno, Purworejo. Saat didatangkan, batu diangkut menggunakan truk pada dini hari.

Amat menceritakan, anggota keraton kemudian memahat batu untuk dijadikan sebagai prasasti kerajaan. Batu itu saat ini diletakkan di bagian belakang ‘istana’ sisi kiri. Batu panjangnya sekitar 2 meter dan tinggi 1,5 meter.

Proses pembuatan prasasti, lanjutnya, meresahkan warga karena pemahatan dilakukan sampai larut malam oleh anggota keraton secara tertutup.

Setelah jadi, batu itu kemudian dinamai ‘Prasasti Ibu Bumi Mataram II’ yang diklaim menandai berdirinya Kerajaan Mataram di Bumi Pogung. Terdapat jejak sepasang telapak kaki, logo Keraton Agung Sejagat dan tulisan berbahasa Jawa.

Amat menambahkan, warga sekitar lokasi semakin tambah resah karena batu itu kemudian disakralkan oleh anggota keraton. Batu itu ditutupi mori dan dilengkapi dengan aneka sesaji. (dtc/sip/mbr/dm)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here