
Oleh: Prof. Dr. Muh Saerozi, M.Ag.
(Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Semarang)
PROSES Nhukum terhadap orang-orang yang diduga bersalah karena menjadi provokator dalam aksi penolakan pemakaman syahidah Nuria Kurniasih sudah berjalan. Kepolisian sebagai institusi penegak hukum dan pelayan masyarakat sedang melaksanakan tugasnya. Saya sangat berharap proses hukum berjalan konsisten sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Proses hukum ini ternyata banyak yang menyimak, bukan hanya mereka yang berprofesi sebagai tenaga medis, tetapi juga berprofesi lain. Misalnya, kawan saya yang kebetulan pensiunan dan berwatak pendiam, di luar dugaan bertanya pula tentang kelanjutan kasus tersebut. Telusur-punya telusur, ternyata ia adalah jamaah haji satu kloter dengan ibunya almarhumah.
Seperti lazimnya jamaah haji sekarang, mereka punya group WA sesuai rombongan atau kloternya. Satu rombongan jamaah haji 45 orang, satu kloter 305 orang. Dari situlah para jamaah haji memperoleh berita, saling gethok tular, dan saling bertabayyun tentang kasus penolakan pemakaman almarhumah oleh sekelompok orang di Suwakul Ungaran (kamis, 9/4/2020, petang).
Sambil menanti ending dari proses hukum yang sedang berlangsung, maka saya berharap agar warga suwakul Ungaran tidak terpapar gelisah dan cemas yang berlebihan, terutama warga yang kemarin tidak turut aksi, apalagi warga yang tidak tahu menahu proses kejadian itu. Kata dokter, “cemas dan gelisah dapat menurunkan imunitas tubuh”.
Bila yang dicemaskan adalah kemungkinan tindakan kepolisian, saya yakin kepolisian kita bertindaknya profesional dan proporsional. Bila yang dicemaskan adalah kemungkinan pelayanan medis di rumah sakit atau klinik, saya yakin rumah sakit di sekitar kita juga akan bertindak profesional dan proporsional. Apalagi dokter dan perawat. Mereka semua bekerja di bawah sumpah.
Mereka dalam bekerja bukan hanya diatur dengan Standar Operasional Prosedur(SOP) yang ketat, tetapi juga kode etik. Mereka adalah orang-orang yang telah setuju dengan prosedur dan kode etik profesinya. Bila yang dicemaskan adalah kemungkinan tindakan pejabat Kab. Semarang, saya yakin mereka adalah poro piyantun yang wicaksono, sehingga mampu ngayomi dan ngayemi, serta cerdas untuk milah dan milih.
Maka saya sekali lagi, saya yakin mereka semuanya tidak akan berbuat yang mencerminkan peribahasa jawa “Gajah ngidak rapah”. Gajah merupakan personifikasi dari orang yang punya kekuasaan, kewenangan, atau kekuatan. Ngidak berarti menginjak. Rapah adalah daun tebu atau dedaunan sebagai simbol dari sumpah, aturan, atau kode etik. Gajah ngidak rapah berarti orang yang punya kekuasaan, kewenangan, atau kekuatan, tetapi melanggar sumpahnya sendiri, menabrak aturannya sendiri, atau merusak kode etiknya sendiri. Peribahasa tersebut merupakan wewaler (pantangan) bagi hidup siapapun.
Mengapa begitu? Pengalaman telah memberi pelajaran kepada orang banyak bahwa hidup ini ternyata tidak gratis. Setiap orang itu ngunduh uwohing pakarti (memetik buah dari perbuatannya sendiri), cepat atau lambat, sekarang atau waktu yang akan datang. Kitab Suci juga mengajarkan yang lebih mandes, “jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat , maka kejahatan itu juga untuk dirimu sendiri (Al-Isra’:7). (*)