Prof. Dr. Muh Saerozi, M.Ag., Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Semarang. FOTO:IST/UNGARANNEWS

Oleh: Prof. Dr. Muh Saerozi, M.Ag.
(Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Semarang)

 

PERIBAHASA jawa itu pantas untuk menggambarkan kelanjutan dari peristiwa penolakan sekelompok orang di suwakul Ungaran terhadap pemakaman syahidah Nuria yang gugur berjuang melawan Covid-19 (Kamis, 9/4/2020 petang).

Saya harus tegaskan bahwa penolakan itu oleh sekelompok orang, sebab tidak semua orang suwakul menolaknya. Silakan dibuktikan saja. Suwakul hanya bagian kecil dari wilayah kelurahan Bandarjo Ungaran Barat, jadi bukan semua orang Bandarjo, apalagi semua orang Ungaran Barat.

Penjelasan ini sekaligus menegaskan kepada masyarakat di seluruh Indonesia bahwa hanya sekelompok kecil orang Ungaran yang berperilaku seperti itu. Penegasan saya ini penting karena banyak orang Ungaran yang sekarang di perantauan juga turut malu karena peristiwa ini.

Apalagi ada siaran yang seolah-olah “menggebyah uyah” bahwa penolakan itu datang dari semua orang Ungaran. Saya berharap ketegangan akibat peristiwa ini segera selesai dengan ketegasan dan kecermatan kepolisian menangani oknum-oknum yang diduga menjadi provokator dan mereka yang terlibat.

Penegakan hukum sangat ditunggu masyarakat luas, supaya tindakan “Kaduk wani tanpo dedugo” itu menjadi pembelajaran bagi yang bersangkutan dan pelajaran bagi masyarakat luas. “Kaduk wani” itu adalah tindakan yang kelewat berani.

“Tanpo dedugo” itu adalah tanpa perhitungan. Peribahasa tersebut menggambarkan orang yang pemberani, percaya diri, tetapi nalar dan rasionya dangkal. Orang tersebut kurang perhitungan, lebih suka memakai okol (kekuatan fisik) daripada akal dan kesehatan.

Karakter dan sikap seperti ini dianggap kurang baik karena ada saatnya akan membawa pada petaka pada dirinya. Petaka karena sanksi hukum, sanksi sosial, sanksi nuraninya sendiri di kemudian hari. Cukuplah peristiwa seperti ini terjadi sekali saja.

Apalagi sekarang pemerintah daerah sudah menyiapkan pemakaman yang cukup luas untuk masyarakat umum dan korban covid. Maka sekarang ini, “sing wis yo wis”, “sing salah, harus seleh”, ” sing nandur, bakal ngunduh”, ” sing gawe, bakal nganggo”, “sing tumindak becik, mesti ketitik” “sing tumindak olo, mesti ketoro”. “Gusti Allah ora sare”.

Teriring doa semoga almarhumah memperoleh kebahagiaan sejati di alam barzakh dan surga karena khusnul khotimahnya. Keluarga yang ditinggalkan semoga selalu memperoleh petunjuk dari Allah, sehingga dapat bertambah sabar menghadapi semua musibah ini.

Luka batin tentu ada di benak keluarga, terutama ibu, suami, anak-anak, dan saudara kandung. Luka batin juga ada di kalangan kawan sejawat.

Menutup luka batin itu memang sulit dan perlu waktu, tetapi orang yang beriman pasti yakin bahwa semua ada hikmahnya, semua akan indah pada waktunya. Semoga badai covid segera berlalu. Wallahu a’lam. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here