Ketua Bawaslu Kabupaten Semarang Mohammad Talkhis saat memberikan keterangan kepada wartawan, beberapa waktu lalu. FOTO:DOK/UNGARANNEWS

UNGARANNEWS.COM. UNGARAN BARAT- Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 masih menggunakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Padahal dalam UU tersebut masih menggunakan nama lembaga Panwaslu, lantas bagaimana dengan pergantian nama yang kini menjadi Bawaslu?

Ketua Bawaslu Kabupaten Semarang Muhammad Talkhis mengatakan, meski sudah ada perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, namun dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Semarang 2020 mendatang pihaknya memastikan akan memakai UU Nomor 10 Tahun 2016.

“Bila mengacu pada UU Nomor 7 tahun 2017 tidak menyebutkan secara detail kewenangan Bawaslu terutama dalam penegakkan masalah hukum terhadap peserta Pemilu. Karena itu kita masih menggunakan UU Nomor 10 tahun 2016. Saat ini Bawaslu RI tengah mengajukan Juducial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk penggunaan nama Panwaslu menjadi Bawaslu,” ujarnya dalam rapat teknis dengan awak media massa di Joglo Amerta Balemong, Ungaran Barat.

Disebutkan, ia optimis JR yang diajukan Bawaslu RI akan diterima MK, karena substansinya hanya pada penggunaan nama bukan merubah UU. Terlebih lagi waktu Pilkada Serentak 2020 saat ini sudah mulai memasuki tahapan. Semua Bawaslu masih menggunakan UU yang digunakan dalam Pemilu sebelumnya.

“Hanya saja kita belum mengetahui detil JR yang diajukan Bawaslu RI ke MA, tapi kami optimis JR akan diterima MK,” jelasnya.

Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran, Bawaslu Kabupaten Semarang, Agus Riyanto menambahkan jika Bawaslu menggunakan UU Nomor 7  Tahun 2017, maka kewenangannya akan bermasalah. Karena tidak punya kewenangan untuk mengawasi jalannya Pilkada mendatang.

Hal senada diungkapkan Koordinator Divisi Hukum, Data, dan Informasi, Bawaslu Kabupaten Semarang, Andi Gatot Anjas Budiman. Dia mengatakan, UU No 10/2016 memang masih memakai nomenklatur panwaslu, bukan bawaslu.

Pihaknya berharap kewenangannya tetap sama sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

”Kami masih menunggu hasil dari Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.

Dia menjelaskan, mengacu Pasal 187 huruf AUU No 10/2016, pemberi dan penerima politik uang, tetap diproses.

Bila terbukti bersalah, ancaman hukumannya penjara minimal selama 36 bulan serta dikenai denda sebesar Rp 200 juta.

”Program Desa Antipolitik Uang, diharapankan dapat menjadi ikon unggulan di Kabupaten Semarang. Teman-teman media massa pun bisa ikut mengawasi proses pemeriksaan dugaan pelanggaran yang dilakukan Sentra Gakkumdu,” jelasnya. (abi/tm)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here