Puji Harsono (Dosen Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, UNS Surakarta). FOTO:DOK

Oleh: Dr. Ir. Puji Harsono,M.P., C.R.P.
(Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS Surakarta)

Wilayah pedesaan yang tertinggal umumnya identik dengan kawasan lahan kering sehingga musim tanamnya terbatas karena hanya mengandalkan curah hujan sebagai sumber daya air untuk memenuhi irigasi pertanian. Kekeringan saat ini dikaitkan dengan fenomena El Nino karena peningkatan suhu permukaan laut dan penurunan curah hujan yang drastis di beberapa wilayah.

Keterbatasan air dapat mengancam ketersediaan pangan akibat keterbatasan air yang dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan tanaman dan hasil panen. Cekaman air pada tanaman menurut Lisar et al., (2012) tidak hanya mengganggu hubungan air dan tanaman melalui pengurangan kadar air, turgor dan air total, namun juga mempengaruhi penutupan stomata, batas pertukaran gas, mengurangi transpirasi dan fotosintesis.

Lahan kering dengan introduksi agroteknologi rendah menyebabkan produktivitas menurun yang pada akhirnya memicu peningkatan kemiskinan. Pendapat ini sejalan dengan Wale dan Dejenie (2013) bahwa lahan kering dan kemiskinan masyarakatnya saling bertautan.

Untuk itu diperlukan teknologi yang murah dan berdaya guna yang terjangkau petani di lahan kering. Pemberian irigasi pertanian harus efisien dengan memperhatikan perbandingan antara air yang dialirkan ke lahan pertanian dan air yang dikonsumsi oleh tanaman, dengan demikian memberikan nilai produktivitas penggunaan air meningkat yakni digambarkan sebagai efisiensi ekonomi penggunaan air.

Cabai merah merupakan salah satu komoditas yang paling banyak dikonsumsi di setiap provinsi. Tingginya tingkat konsumsi komoditas makanan kelompok sayuran ini dapat dikaitkan dengan budaya kuliner masyarakat Indonesia yang menggunakan cabai merah sebagai bumbu dasarnya.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik, produksi cabai nasional tahun 2022 mencapai 1,48 juta ton, konsumsi cabai merah per kapita per tahun mencapai 2,08 kg. Selain dimanfaatkan sebagai bumbu dapur, cabai juga digunakan untuk industri makanan dan farmasi.

Tanaman cabai memerlukan pupuk sebagai nutrisi, nutrisi tanaman merupakan input yang paling penting untuk meningkatkan kualitas produk dalam pertanian yang tangguh dan berkelanjutan. Aplikasi pupuk secara tradisional dengan cara menyebarkan di seluruh permukaan lahan tidak efisien dalam penggunaan hara bagi tanaman yang menyebabkan produktivitas tanaman rendah sehingga perlu manajemen pemupukan yang tepat. Pemupukan berimbang dengan memperhatikan enam tepat perlu diterapkan yaitu: tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga

Universitas Sebelas Maret melalui Program Kemitraan Masyarakat (PKM UNS) tergerak untuk berkontribusi memberikan solusi terkait keterbatasan sumber daya air di musim kemarau dan upaya pengggunaan pupuk yang hemat pada budidaya cabai di lahan kering, salah satunya dengan teknologi fertigasi gravitasi menggunakan selang (hose) superflex. Hose gravity fertitagion merupakan modifikasi dari drip fertigation menggunakan selang sehingga instalasinya lebih sederhana dan biayanya terjangkau petani lahan kering.

Prinsip penerapan fertigasi gravitasi adalah menampung air yang diperoleh dari sumur buatan dengan menggunakan pompa air yang kemudian dialirkan pada penampungan air (drum) pada tempat yang lebih tinggi (tower). Air dalam drum penampungan diberikan pupuk an organik (NPK majemuk) dengan dosis diatur sesuai tahap pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai. Selanjutnya, larutan pupuk didistribusikan langsung ke lubang tanam pertanaman cabai dengan memanfaatkan gaya gravitasi sesuai Hukum Newton menggunakan selang fleksibel superflex.

Fertigasi secara gravitasi yang diterapkan pada pertanaman cabai di musim kemarau dapat menghindari pemborosan air irigasi sehingga dapat menjamin keberlanjutan sumber daya air. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya yang unik untuk memasok air yang tepat dengan tekanan rendah dan sinkron menurunkan laju evapotranspirasi tanaman langsung dari rizosfir tanaman cabai.

Pemberian air irigasi secara langsung ke lubang tanaman cabai bermulsa plastik polyetilen menggunakan teknik gravitasi slang dibandingkan dengan menggunakan irigasi penggenangan parit (furrow irrigation) mampu meningkatkan; tinggi tanaman 17,12 cm, jumlah cabang dikotom 48,34%, luas daun 55,71%, bobot kering tanaman 30,96%, laju asimilasi bersih 13,80%, hasil buah per tanaman 18,60%. Sedangkan kemampuan menekan pertumbuhan gulma berdaun lebar maupun berdaun sempit yang diukur dari berat kering gulma sebesar 18,60% (Harsono, P., et al, 2020).

Pemberian pupuk secara tradisional di seluruh permukaan lahan tidak efisien dan produktivitas tanaman rendah. Fertigasi yang menggabungkan irigasi dengan pupuk larut sesuai kebutuhan tanaman merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi dan pupuk. Pemberian air dan pupuk melalui fertigasi memungkinkan pemerataan air dan nutrisi ke zona akar aktif sehingga mendorong pertumbuhan dan perkembangan akar.

Selanjutnya, meningkatkan kemampuan akar dalam penyerapan hara dan air untuk ditranslokasikan ke daun sehingga kapasitas fotosintesis tanaman meningkat. Sejalan dengan Filho et al, 2020, fertigasi mengurangi air dan nutrisi yang hilang melalui perkolasi maupun leaching.

Penggunaan paket teknologi sistem gravity fed fertigation (kombinasi pemupukan kocoran dan irigasi) dengan memanfaatkan gaya gravitasi, utamanya untuk budidaya cabai di lahan kering memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: (1) efisiensi penggunaan air irigasi meningkat, (2) upah tenaga kerja (HOK) menurun, (3) belanja pupuk berkurang, (4) pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai lebih baik, (5) meningkatkan B/C rasio budidaya cabai.

Terima kasih secara institusional disampaikan kepada Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah mendanai kegiatan pengabdian kepada masyarakat dari sumber pendanaan non APBN melalui Program Kemitraan Masyarakat UNS (PKM UNS) Tahun Anggaran 2023. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here